Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa jiwa adalah satu bila
dilihat dari sudut dzatnya, dan tiga bila dilihat dari sudut sifatnya.
Di dalam Al-Qu’an yang mulia itu telah menjelaskan tentang jiwa dengan
tiga sifat: yaitu muthma’innah, ammarah bis su’ dan lawwamah (yang suka mencela).
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Jiwa bila tenang karena Allah Subhaanahu wata’ala, tenteram
karena berdzikir kepada-Nya, tunduk kepada-Nya, rindu kepada perjumpaan
dengan-Nya, akrab dengan kedekatan-Nya, maka ia adalah jiwa yang muthma’innah. Ialah jiwa yang disebutkan Allah Subhaanahu wata’ala ketika seseorang wafat, sebagaimana dalam firman-Nya,
(يَـٰٓأَيَّتُہَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَٮِٕنَّةُ (٢٧) ٱرۡجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً۬ مَّرۡضِيَّةً۬ (٢٨
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (Al-Fajr: 27-28)
Muthma’innah
Menurut Imam Ibnul Qayyim hakikat muthma’innah adalah
ketenangan dan kestabilan, yaitu jiwa yang merasa tenang kepada
Tuhannya, taat kepada-Nya dan perintah-Nya, serta dzikir kepada-Nya dan
tidak meras tenang kepada yang lain-Nya. Dengan demikian jiwa itu telah
mencapai ketenangan dengan cinta-Nya, penghambaan dan berdzikir
kepada-Nya. Ia juga tenteram dengan perintah-Nya, larangan-Nya dan
janji-Nya.
Ia juga tenteram dengan pembenaran terhadap hakikat Asma’-asma’ dan sifat-sifat Allah Subhaanahu wata’ala. Ia juga tenteram dengan keridhaannya mengakui Allah Subhaanahu wata’ala sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Rasulullah.
Ia juga tenteram dengan Qadha’ dan Qadar-Nya. Ia juga tenteram dengan
kecukupan, kelayakan, dan jaminan hidup dari-Nya. Ia juga tenteram
dengan keyakinan bahwa Allah Subhaanahu wata’ala satu-satunya
Rabbnya, Sesembahannya, Rajanya dan Pemilik segala urusan, dan tempat
kembalinya. Dan bahwasanya tidak ada rasa “tidak butuh” kepada-Nya
walaupun sekejap mata.”
Amarah Bis su’
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan tentang jiwa amarah bis su’ , jiwa ini bertentangan dengan jiwa muthma’innah. Jiwa amarah bis su’ yang
memerintahkan pemiliknya kepada hawa nafsu berupa syahwat kesesatan dan
mengikuti yang batil, jiwa seperti ini merupakan sumber kejelekan. Jika
dituruti, maka jiwa ini akan menyeret seseorang pada perbuatan jelek
dan segala perkara dibenci.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Nafsu ammarah bis su’ dikatakan ‘ammarah’ dan bukan ‘amirah’ karena
banyaknya perintah dari nafsu tersebut, dan bahwa nafsu yang demikian
telah menjadi adat dan ciri khasnya, kecuali apabila Allah Subhaanahu wata’ala merahmatinya
dan membuatnya menjadi suci yang menyuruh pemiliknya untuk berbuat
baik, dan hal tersebut termasuk rahmat Allah bukan dari rahmat nafsu,
karena ia sendiri pada hakikatnya menyuruh kepada keburukan. Karena
nafsu pada asalnya diciptakan dalam keadaan bodoh dan sesat, kecuali
yang mendapat rahmat Allah.
Lawwamah
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Kata lawwamah ini, ulama berbeda pendapat tentang sumber asal kata pokoknya, apakah ia berasal dari kata talawwum (kebimbangan), atau kata laum (tercela). Pernyataan salaf berkisar antara dua makna ini.
Sa’id bin Jubair berkata, ‘Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apakah nafsu lawwamah itu?’ Ibnu Abas menjawab, ‘Nafsu lawwamah adalah nafsu yang tercela.’
Mujahid berkata, ‘Nafsu lawwamah adalah nafsu yang menyesali segala yang terjadi di masa lalu dan mencela dirinya sendiri.’
Qatadah berkata, ‘Nafsu lawwamah adalah nafsu yang jahat.’
Ikrimah berkata, ‘Nafsu lawwamah adalah nafsu yang mencela atas perbuatan baik dan buruk.’
Atha’ dari Ibnu Abbas dia berkata, ‘Nafsu lawwamah adalah
setiap nafsu yang mencela dirinya sendiri pada Hari Kiamat, yang mencela
dirinya sendiri atas perbuatan baik karena tidak menambahkannya, dan
mencela dirinya atas perbuatan buruk karena tidak kembali insaf dari
keburukannya.’
Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwasanya jiwa kadangkala bersifat ammarah, kadangkala bersifat lawwamah, dan kadangkala bersifat muthma’innah. Bahkan
dalam satu hari dan satu saat bisa terjadi yang ini dan itu. Dan yang
menguasai adalah kondisinya yang paling dominan. Kondisi nafsu yang
menjadi muthma’innah adalah merupakan sifat yang terpuji baginya. Dan kondisi nafsu menjadi ammarah bis su’ merupakan sifat yang tercela baginya. Nafsu itu kadangkala bersifat lawwamah yang terbagi menjadi terpuji dan tercela sesuai dengan sesuatu yang dicelanya.
Sumber : OBAT HATI, Antara Terapi Ibnul Qayyim & Ilusi Kaum Sufi, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
Gambar: Kompas.com dan google.co.id
Gambar: Kompas.com dan google.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar